Jakarta - Berbagai pihak mulai mengkhawatirkan implementasi dan penegakan hukum menjelang diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2026 mendatang. Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O.S Hiariej, menegaskan bahwa penegakan hukum di Indonesia, termasuk terkait bidang kekayaan intelektual (KI) tidak akan tumpeng tindih saat KUHP yang baru resmi berlaku.
“Kami, Pemerintah dan DPR diperintahkan oleh pasal 613 KUHP Baru untuk segera membuat Undang-Undang Penyesuaian Pidana. Undang-Undang ini digunakan untuk ketentuan perundang-undangan yang tidak tercantum di KUHP termasuk UU Hak Cipta, UU Merek, UU Paten, dan berbagai undang-undang lainnya,” ujar pria yang akrab disapa Eddy ini di acara Sosialisasi Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual Menurut KUHP Baru, di Hotel J.S Luwansa, Rabu (27/08/25).
Tujuan dibentuknya Undang-Undang Penyesuaian Pidana sendiri antara lain agar tidak terjadi disparitas pencantuman acara pidana, tidak menyimpulkan bukti interpretasi dalam penerapannya, dan lebih menjamin kepastian hukum.
Menurut Wamenkum, dalam KUHP Baru tidak mengatur secara detail mengenai KI namun ada beberapa pasal yang bersinggungan dengan KI, diantaranya terkait kejahatan penerbitan, pelanggaran terhadap barang cetakan, serta aturan mengenai penggunaan lagu kebangsaan.
Eddy juga menegaskan bahwa kedudukan KUHP yang baru akan menjadi induk dari undang-undang yang sudah ada maupun yang akan lahir kemudian. Sehingga semua penerapannya akan merujuk pada KUHP nasional tersebut.
“Jadi nanti penerapannya hanya satu, jika bicara substansi perbuatannya maka yang dipakai adalah undang-undang terkait, tetapi jika berbicara sanksi pidananya maka akan merujuk kepada KUHP Nasional maupun Undang-Undang Penyesuaian Pidana,” tegas Eddy.
Untuk meningkatkan kepastian hukum dan pelindungan terhadap kekayaan intelektual, saat ini pemerintah juga sedang merancang revisi Undang-Undang Hak Cipta yang akan disesuaikan dengan KUHP Nasional. Salah satu poin yang akan direvisi yaitu akan mengatur bahwa unsur pidana dalam pelindungan KI bersifat administratif serta substitusi.
“Yang harus dipahami dalam UU hak cipta, merek, dan lainnya mengandung hukum pidana. Maka adanya KUHP Baru akan mengubah penegakan hukum kekayaan intelektual bersifat substitusi artinya pidana merupakan pilihan paling akhir sehingga dalam penyelesaiannya ada upaya lain yang ditempuh terlebih dahulu, seperti mediasi dan negosiasi,” kata Wamenkum.
Ia menambahkan, sejumlah kelemahan dalam undang-undang yang sudah ada menjadi alasan kuat perlunya revisi agar regulasi KI dapat lebih adaptif menghadapi tantangan industri kreatif yang berkembang pesat.
Sosialisasi Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual Menurut KUHP Baru merupakan bentuk implementasi kerja sama antara Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dalam pelindungan dan penegakan hukum kekayaan intelektual di Indonesia. Kegiatan ini dihadiri oleh pemilik merek, konsultan KI, perwakilan perusahaan, Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian.