Jakarta - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O. S. Hiariej alias Prof. Eddy, menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berimplikasi pada instrumen hukum lain, diantaranya adalah penyesuaian ketentuan pidana dalam peraturan daerah (Perda) dan Undang-Undang (UU) sektoral. Penyesuaian tersebut diperlukan agar Perda maupun UU sektoral selaras dengan KUHP baru yang akan berlaku mulai tahun 2026 mendatang.
Penyesuaian ini mencakup kategorisasi pidana, penghapusan pidana kurungan, batasan denda maksimal, hingga perubahan istilah hukum seperti penghapusan istilah "kejahatan" dan "pelanggaran" menjadi "tindak pidana".
“Masih ada pidana kurungan di dalam UU Pemerintahan Daerah. Ini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Mengapa? Satu, kita sudah tidak lagi mengenal pidana kurungan. Kedua, kita mengenal kategori pidana denda. Jadi kita harus merubah Perda untuk disesuaikan dengan KUHP Nasional,” jelas Wamen pada acara Forum Pendalaman Materi Perancang Peraturan Perundang-undangan, Selasa (6/8/2025).
Eddy juga menyoroti tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan karena banyaknya variasi pengaturan di tingkat daerah. Ia menegaskan bahwa Perda yang mengatur kesusilaan harus berbasis delik aduan absolut untuk mencegah penegakan hukum yang sewenang-wenang.
“Memberi arahan kepada pembentuk Perda untuk tidak membuat peraturan daerah yang tumpang tindih atau bertentangan dengan KUHP. Boleh mengatur kesusilaan, tetapi dasarnya satu, tetap adalah delik aduan yang absolut. Makanya rambu-rambu itu kita pasang di KUHP Nasional,” ujarnya di gedung Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) Kementerian Hukum (Kemenkum).
“Berdasarkan penelitian kan ada 114 Perda terkait kesusilaan. Nah ini harus berhati-hati. Satu, ketika memformulasikan ketentuan larangannya itu harus berpegang kepada KUHP. Kedua, dia adalah delik aduan yang absolut,” tambahnya.
Wamenkum turut menguraikan urgensi pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana, kemudian rencana perubahan Pasal 15 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta Pasal 238 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut akan membatasi ancaman pidana denda dalam Perda paling banyak kategori III, serta menekankan penghapusan pidana kurungan yang akan diganti dengan pidana denda sesuai kategori.
Ia berpesan kepada para perancang peraturan perundang-undangan agar memastikan adanya harmonisasi antara peraturan daerah dan UU sektoral dengan KUHP Nasional.
“Yang mau saya tekankan kepada teman-teman perancang saat melakukan harmonisasi, ketika berbicara mengenai penalisasi, berbicara mengenai pencantuman ancaman pidana suatu Undang-Undang itu semua harusnya merujuk pada KUHP,” ucap Eddy.
Forum Pendalaman Materi Perancang Peraturan Perundang-undangan merupakan inisiasi DJPP Kemenkum untuk meningkatkan pemahaman para pemangku kepentingan terkait substansi hukum. Kali ini, DJPP mengangkat tema “Ketentuan Pidana dalam Peraturan Daerah Pasca Ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)” bagi para perancang peraturan perundang-undangan di instansi pusat maupun daerah.
Direktur Jenderal PP, Dhahana Putra, mengatakan forum ini penting untuk meningkatkan pemahaman terkait substansi ketentuan pidana dalam peraturan daerah (Perda) seiring dengan akan diberlakukannya KUHP baru pada 2 Januari 2026.
“Pasal 613 KUHP mengamanatkan pemerintah dan DPR untuk menyiapkan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana, termasuk penyusunan pidana dalam Rancangan Peraturan Daerah dan pelaksanaan pidana mati,” katanya.